Ketika kau menempatkan agama apa yang cocok saat ini untuk para penduduk bumi, manusia; maka jawaban yang tepat adalah Agama Primitif. Ya, itu menurutku, dan juga harus jadi menurut orang yang berpandangan bahwa Tuhan tak seintelktual saat ini.
Namaku Yusuf, remaja berusia 22 tahun yang sudah mulai bosan mencari keberadaan Tuhan; manusia. Mulanya aku seorang Ateis, meski namaku sendiri seperti berlatarbelakang kemuslim-musliman. Aku terus menolak jika ada yang memanggilku dengan panggilan Yusuf. Aku lebih suka orang lain menyebutku Yusaf atau Yussi.
Sudah berjalan 12 tahun aku berdiri bebas dalam keadaan baligh, mencari kesana-kemari, mendeskripsikan agama manusia yang banyak kulihat tak sesuai materi, akal muasal, dan kecocokkan bagi pemeluknya. Membosankan. Dan hampir selalu menampilkan keputus-asaan; tidak adil pun pemberontakan.
Setiap kali aku memasuki agama yang dirasa paling pas dan manusiawi, di situ pulalah aku menemukan keganjalan. Fajar kemunafikkan dan kekerasan layaknya Agama pada binatang-binatang liar.
Di awal tahun kebalighanku, orang tuaku menyerukan untuk bebas memilih agama. Ya, mereka, ayah-ibuku memang tak seagama, yang akhirnya memaksaku untuk bebas memeluk agama lainnya tanpa memaksa kehendak bermanusia.
Ayahku seorang Nasrani, ia berkebangsaan Australia, dan ibuku sendiri berasal dari Israel, dengan agama Yahudi. Mereka berdua dipertemukan saat sedang menghabiskan masa lajangnya kala tengah berlibur, disebuah Negara yang kulupa saat mereka menceritakannya. Hal inilah yang kemudian menyeruku untuk terus mencari-cari Tuhan yang cocok buatku. Karna rasanya tidak mungkin jika aku memilih ikut agama salah satu kedua orang tuaku.
“Aku hanya ingin adil seperti halnya Tuhan yang Maha Adil. Dengan tidak memilih salah satu Tuhan orangtuaku. Namun siapa Tuhan itu?” kataku dalam hati ketika dihadapkan kebebasan memilih.
Aku pernah menjadi seorang komunis, dan nyatanya itu bukan sebuah agama yang pantas bagi peradaban. Ia tidak termasuk agama yang berkeTuhanan, sama halnya dengan Ateis, hanya beda prospektif. Jika Ateis benar-benar tidak mempercayakan Tuhan, dan komunis adalah ideologi yang berkenaan dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi yang tujuan utamanya menciptakan masyarakat komunis dengan aturan sosial ekonomi berdasarkan kepemilikan bersama alat produksi dan tidak adanya kelas sosial. Entah, bukan agama rasanya, hanya pandangan hidup besosial semata tanpa mementingkan keberadaan Tuhan itu sendiri.
Setelah Kurasa keduanya adalah sebuah kekosongan, akupun mencoba untuk hidup berkiblat pada ajaran orang-orang Jepang. Siapa yang tak salut pada dedikasi dan kedisiplinan orang Jepang. Begitu teratur, tertata, tepat waktu, dan sangat toleran terhadap sesamanya. Kala itu umurku menginjak usia 17 tahun. Namun seiring berjalannya waktu, keadaan itu mengubahku. Aku memang merasakan perbedaan hidup, tak seperti halnya manusia lain yang selalu bermalas-malasan, bertatakrama seenaknya, dan menghalalkan kebohongan.
Ternyata menjadi seorang yang beragama Sintho, hanya menafikan keesaan. Siapa yang mulai tak percaya jika ada banyak Tuhan dalam hidupnya? Aku merasakan demikian. Membingungkan dan wajar bila halnya penduduk Jepang justru banyak yang lari mencari jalan pintasnya untuk mati. Karna memang tak nyaman jika hidup dengan konsep berketuhanan genap. Tak setia.
Memasuki usia lepas remaja, ayah dan ibuku mengajak ku untuk hijrah ke Indonesia. Di sini, Negara kepulauan dengan beragam nilai sosial dan agama, malah membuatku seakan makin terjebak dalam ketiadaan.
“Lima agama berbeda dengan sistem sosial yang nasionalis, mana mungkin bisa hidup demikian?!” gumamku membayangkan. Mana mungkin beberapa juta jiwa dengan agama yang berbeda-beda membawa mereka pada sebuah persatuan. Nihil bagi pemikiranku. Ya, atau, Tuhan Maha Satu yang menyatukan Tuhan-Tuhan lainnya yang ada di bumi pertiwi?
Aku sudah melihat dengan sendirinya bagaimana di negara-negara luar, tidak bisa hidup berdampingan dengan agama berbeda. Gaza misalnya. Orang yang beragama Islam di sana terus habis-habisan diberondong dengan peluru-peluru tajam oleh orang yang beragama, Ah! Aku tak ingin membenci ibuku. Dan di sini, Indonesia, begitu hebatnya 5 agama bisa berdiri tanpa satupun saling menggoyahkan.
. . .
Berjalan 2 tahun kepindahan kami ke Indonesia, sedikit menyisakan kebimbangan buatku. Semua sudah kulihat dengan mata-kepalaku sendiri. Dan hampir kuputuskan untuk tetap tidak memilih satupun Agama yang ada di muka bumi. Deskripsinya; toleransi yang awal mulanya kulihat, berjalan seiring waktu bergeser menuju arah penumpasan. Seperti halnya hewan-hewan liar. Agama mana yang dirasa kuat berdedikasi mendakwahkan ajarannya, di situlah agama itu akan dipegang. Siapa kuat, dia menang. Hukum rimba berlaku.
Orang-orang yang beragama muslim di sini, sangat kukenal dengan keramahtamahan yang teramat hebat. Hanya saja toleransi persaudaraan sesama muslim, kukenal paling berbeda dengan agama lainnya. Hampir sebagian penduduk Indonesia beragama Islam, dan hampir sebagian besar pula, hidup dalam kehampaan yang amat sia-sia. Acuh tak acuh, intoleran, deskriminasi, perpecahan golongan, radikalisme, ditambah banyaknya mahzab yang justru jadi senjata mematikan satu sama lain. Yang jadi ujung tombak hancurnya persepsi agama damai ini adalah, radikalisme tumbuh dari kalangan tertentu dan menggerus konsistensi kedamaian umat muslim.
Jangankan saling menghargai agama lain, agama sesamanya saja, kulihat suka saling membunuh. Entah yang secara terang-terangan, maupun perlahan. Terlebih dengan sikap radikalisme tadi. Sudah banyak dari yang dibayangkan, berapa ratus orang mati dalam beberapa tahun terakhir hanya dengan tindakan konyol yang digadang-gadang jihad, justru menyetarakan tindakkannya seperti orang Jepang yang pernah kusebutkan. Terorisme.
Begitu juga Agama Nasrani. Agama yang sama halnya tak masuk akal bagiku. Kebohongan-kebohongan yang membawaku enggan menyebutnya Tuhan; manusia.
Hindu-Budha, tak lain halnya dengan Agama Sintho. Mempercayai dewa-dewa adalah kemustahilan nalar. Aku tidak mungkin kembali menganut kepercayaan Tuhan yang genap. Begitu pula dengan Animisme-Dinamisme. Konyol!
“Tuhan itu satu. Sudah sangat jelas bagiku. Tuhan semesta ini satu dan tidak ada tandingan-tandingan padaNYA. Hanya saja, siapa Ia?” Sampai saat ini membuatku malah makin bertanya, apa bedanya jika BERTUHAN AKAL DAN PERASAAN dengan TUHAN PRIMITIF?
“Jika benar adanya manusia menuhankan akal dan fikirannya untuk berperasaan kepada manusia-manusia lain, mengapa ada pembunuhan di mana-mana? Mengapa ada kelaparan dan kriminalitas di bumi ini? Mengapa ada keserakahan yang mengalahkan manusia lain untuk tetap hidup? Mengapa manusia menuhankan kekuasaan ketimbang akal budinya? Mengapa manusia layak disebut berprikemanusiaan jika ia sendiri tak mempercayaan kekuasaan Tuhan? Lantas,,, mengapa aku hidup?” segera kuambil pistol simpanan ayahku di laci tempat kerjanya.
D.o.r.r.r.R.r.r.r.r….!!!
——–
Bengkulu, 21 Juli 18