Bengkulu : Cahaya Perempuan Women Crisis Center Bengkulu mendorong implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di berbagai kalangan. Hal ini demi menciptakan ruang aman bagi korban kekerasan seksual dan mencegah terjadinya kasus yang sama.
Direktur Utama Cahaya Perempuan Tini Rahayu saat melaksanakan kegiatan aksi kolektif Forum Perempuan Muda dan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput tingkat Provinsi Bengkulu, Jumat (9/12/2022), mengatakan sejak UU TPKS disahkan, belum terdengar dengan lantang pembicaraan tentang UU TPKS di berbagai kalangan.
Di hadapan 140 orang kelompok dampingan di 17 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, Tini mengajak produk hukum ini dapat disosialisasi di tingkat aparat penegak hukum (APH), lembaga pengada layanan, masyarakat bahkan pemerintah sendiri juga belum terdengar secara masif.
“Padahal kasus kekerasan seksual sendiri dari hari ke hari terus bertambah,” kata Tini, Jumat (9/12/2022).
Berdasarkan data yang dicatat oleh Cahaya Perempuan, sejak Januari hingga November 2022 ini ada sebanyak 62 korban kekerasan terhadap perempuan yang melapor ke lembaga layanan, sedangkan kasus kekerasan seksualnya ada 31 korban.
Dengan jumlah tersebut, lanjut Tini, kekerasan seksual memberikan dampak yang cukup berat bagi korban, tidak hanya dampak psikologis, sosial dan ekonomi, tetapi juga berdampak pada keluarga korban.
“Tidak sedikit juga korban kekerasan seksual harus kehilangan hak pendidikannya, pekerjaan dan dikucilkan dari lingkungan sosialnya,” sampainya.
Padahal dengan kehadiran UU TPKS akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melapor, apalagi jika sosialisasi UU ini dilakukan secara masif di semua lini.
“Dari data kami terlihat bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di rumah tetapi juga terjadi di ruang publik. Sehingga semua orang perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman UU TPKS ini, agar kesadaran masyarakat terus meningkat,” bebernya.
Di usia 23 tahun Cahaya Perempuan, dirinya berharap agar UU ini dapat menjadi landasan hukum dan kerja dari aparat penegak hukum, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Baik untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, membangun lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak terulang kekerasan seksual.
Hari ini merupakan momen bersejarah bagi WCC Cahaya Perempuan dan FPL Indonesia dalam merayakan hari jadinya. Di momen ini sejak tanggal 25 November – 10 Desember juga diperingati sebagai 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
FPL merupakan jaringan lembaga layanan yang aktif menangani perempuan korban kekerasan berbasis gender. Anggotanya terdiri dari 115 Lembaga Pengada Layanan berbasis masyarakat yang tersebar di 32 Provinsi.
FPL telah mendokumentasikan pengalaman korban dan pendampingan dalam penanganan kasus, dan mencatat pada tahun 2021 FPL menangani 5.963 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan 2.185 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Demikian dengan disahkannya UU TPKS pada bulan Mei 2022 lalu. Ini merupakan hasil dari perjuangan panjang Forum Pengada Layanan (FPL) bersama Jaringan dalam mengadvokasi hadirnya kebijakan yang menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual.
Secara garis besar isi UU TPKS hadir untuk menjawab itu, beberapa hal di antaranya; pertama, adanya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual, sehingga pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu.
Kedua, adanya dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual, sehingga ada dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.
Ketiga, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.
Keempat, adanya ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban, agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku.
Kelima, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.