Seolah-olah mereka mulai mengusirku untuk jauh dari dunia fleksible. Ya, mengurung diri, mengisolasi kelemahan daya pikir. Jauh dari peradaban.
Fiuuuhhh. Fana sekali semua ini. Facebook, twitter, instagram: kedok kodok dalam tempurung. Yah, apa mau dikata andai semuanya hanya berjarak sentimeter di depan mataku.
. . .
“Aku ini alumni fiksi, Petrus. Bukankah kau yang membuatku demikian?! Sedari awal aku sudah menolak untuk berterus terang hanyut dalam khayalan, tapi…”
“Tapi apa? Kau menyanggah namun seperti ingin menyita semuanya”
“Sudahlah. Tak ingin aku bahas lagi ketiadaan ini. Cinta-cinta yang semestinya tumbuh tapi tak pernah sekalipun memiliki tuannya. Itukah yang kau namakan keindahan fiksi sebelum aku percaya padamu? Hah!”
“Tapi apa? Kau menyanggah namun seperti ingin menyita semuanya”
“Sudahlah. Tak ingin aku bahas lagi ketiadaan ini. Cinta-cinta yang semestinya tumbuh tapi tak pernah sekalipun memiliki tuannya. Itukah yang kau namakan keindahan fiksi sebelum aku percaya padamu? Hah!”
Petrus-pun mengalah, mundur satu hasta menjauh. Dan aku, akhirnya memutuskan untuk pergi berlawanan arah dengannya.
Suasanya taman kian sepi seiring kedatangan kami. Senyap sesap semilir angin goyah mengelabuhi percakapan kami sedari tadi.
Memang, sudah sejak 1 tahun terakhir aku ingin meluapkan kekesalanku padanya. Kekecewaan bercampur dengan caranya memaksaku untuk pergi bersama fiksi yang hanya kukenal lewat mata dan telingaku; tidak pada hati. Pemain baru, protagonis yang tak tau perannya dalam alur, membuatku kalang kabut menyebutnya ‘khayal’. Sampai kapanpun. Di manapun. Dan siapapun yang hadir dalam hidupku; dia kusebut fiksi.
Namun masih ada sedikit kegelisahan mengantui sikap tegasku. Menjauh darimu, apakah pilihan terbaik untuk kembali hidup normal? Tanpa prasangka, cemburu, dilema, bahkan sekonyol-konyolnya cinta adalah benar-benar percaya padanya melalui mata dan telingaku. Sedang hati selalu dalam kegelisahan.
Oh, tidak. Kau begitu kejam membalikkan keadaanku yang dahulu, Petrus. Kini tak ayal, aku hanya layak disebut binatang malang. Terbuang pada naluri waktu yang tak akan pernah kembali. Kau jahat petrus!
. . .
Di sisi lain, sesampainya di persimpangan jalan taman, Petrus menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Sonya yang sudah lebih jauh terlihat.
Ia perhatikan dengan samar-samar langkah gontai Sonya. Terlihat seperti putus asa. Tak berdaya. Petrus hanya sampai memandanginya hilang dari tatapan. Tak sepatah kata hatipun terucap. Ia kian bimbang, menyesal dengan keputusasaanya mempertahankan Sonya dari prahara yang begitu rumit. Meski ia sendiri tau dengan apa yang akan terjadi jika terus bertahan dengan Sonya. Kehilangan kekasih yang berjalan 7 tahun lebih baik baginya, ketimbang kehilangan restu orang tua yang sudah sejak kecil menghidupi, menyayangi, mencintainya dengan sepenuh hati.
Terus digenggam cinci yang batal bakal pertunangannya dengan Sonya. Ia dekap erat-erat, hingga akhirnya memutuskan untuk melempar ke tepian danau yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
Bengkulu, 19 juni ’18