Ketika kita melihat sebuah fenomena pertemanan, apa yang tergambar dari seorang fulan yang netral berteman dengan siapa saja?
Jawaban yang paling tepat adalah sedikit orang yang berpihak padanya.
Saya memiliki seorang teman di Facebook dengan latar budayanya yang netral, tidak memihak kiri-kanan, tidak berat sebelah, suka menyambung tali silaturahmi namun sukar memperoleh tanggapan positif dari semua postingannya.
Dia berteman dengan semua elemen masyarakat dan kasta; berteman dengan orang yang ber-basic penulis, berteman dengan penyair, cerpenis, novelis, prosais, dan genre sastra lainnya. Ia juga berteman dengan warga NU, Muhammadiyah, Liberalis, dan lain semacamnya. Berteman dengan kalangan politis juga ia terapkan tanpa pandang bulu, seperti halnya; pertemanannya dengan politikus-politikus PKS, Demokrat, Perindo, Golkar, PBNU, PPP, Gerindra, dan sebagainnya. Tak urung juga pertemanannya dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Jelas sikap Nasionalisnya dirasa lebih mantab dari sekedar ber-Sosialis.
Setelah beberapa tanggapan yang ia peroleh dari sekedar postingan-postingannya di Facebook (entah itu sekedar status, caption, quote, artikel-artikel, syair-syair, dll), ternyata ada beberapa kesimpulan yang telah di jabarkan di atas, yang menyangkut siapa saja kelompok penanggap tersebut.
“Sedikit orang yang berpihak padanya tentang apa yang ia posting ketika statusnya mengarah ke-Netral-an, namun berbeda cerita ketika ia mem-posting status/caption yang mengarah pada kelompok tertentu.”
Sampel;
Saat ia menulis sebuah syair atau puisi, beberapa temannya dari sekian ratus yang aktif, hanya puluhan yang menanggapi dan berkomentar. Kelompok novelis dan cerpenis menyanggah dan no Reaction.
Ketika ia menulis sebuah cerpen maupun artikel-artikel menarik, beberapa puluhteman saja yang membaca dan menanggapinya, sedang pada saat itu yang aktif dari kalangan penulis genre lainnya, menyatakan no comen karna bukan menganggap sebagai mahzab-nya.
Kalanya ia mulai menulis statmen tentang politik yang mengarah pada satu partai (misal, PAN), secara konsekuen, yang menanggapinya positif adalah dari kalangan partai yang disinggungnya, kalangan lain no Komen (jika bersinggungan negative, jelas misuh-misuh sendiri; dan jika merasa berlebihan memuji kelompok tersebut, bakalan ketawa mencemooh/HOAX) tanpa mengindahkan sisi sosial lainnya.
Lain hal lagi Kala ia mulai ber-argumen pada keadaan masyarakat melalui status panjangnya, entah apa itu, atau saya misalkan adalah tanggapan beredarnya politik SARO (baca; SA-RA), pro dan kontra menjadi sebuah senjata tajam menganalisa opininya yang bersifat bias dan membuat salah satu kalangan masyarakat koprol kepanasan. Lebih menakutkan lagi adalah kalangan politik dan agama menjadi terkena imbasnya. Sedang kalangan penulis, penyair, liberalis, dan sosialis; NO KOMEN. Pun kita tahu, bahwa kalangan netizen yang benar-benar menanggapi adalah minus pengalaman dan edukasi, yang menjadikan opini tersebut menjadi tersiar kalang kabut menimbulkan selisih faham dan argumen baru. Banyak sekali berita-berita hoax yang sedang gencar mendera pola fikir masyarakat awam. Dan isu yang paling panas adalah ketika Politikus Berjualan Agama dalam Politiknya (padahal solat saja kapan-kapan).
Namun, lain hal ketika ia memulai menulis tentang status yang biasa-biasa saja, tidak ada keindahan estetika dan realita, ngga berbobot, ngga berpendidik-pendudukan, maka reaksi yang diperoleh dari teman-temannya yang aktif dari ratusan netizen, hanya akan menimbulkan beberapa like-coment, saja, dan jelas, orang-orangnya dari kalangan intelektual berfikir kebawah atau awam.
Nah, lantas bagaimana caranya menyatukan perbedaan kasta dan elemen sehingga membuat semuanya bereaksi?
Dengan Viralitasi dan Bal-balan tentunya!
Siapa yang tak kenal aplikasi tik-tok; sarana viralitasi instan yang ketika penggunannya bersikap dan bertingkah idiot. Reaktornya jelas dari kalangan manapun yang menganggapnya NOOB, kasihan, dan prihatin tanpa memperhatikan orang tersebut adalah kelompok, penulis, penyair, politikus, agamis, dan sosialis. Jika dirasa perilaku-perilakunya mengarah ke perbuatan bodoh, yang dirasa pintar akan membela dan menasehati, mencela juga banyak. Dan jika rasanya perbuatan tingkah laku tersebut dilakukan hanya debgan latarbelakang ikut-ikutan, jelas orang yang dirasa lebih sehat akan menasehati keberadaannya.
Pun begitu ketika Tim-Nas berlaga dalam gerne olahraga Bal-balan, siapapun masyarakatnya; awam maupun intelektual, agamis atau non agamis, politikus pun liberalis, maka hasilnya adalah SATU NUSA SATU BANGSA, sepakbola harga mati dari rekayasa pemecah-belah persatuan non nasionalis. Di manapun Timnas berlaga, kapanpun Timnas main, maka pertemanan dari berbagai ras di bumi pertiwi akan angkat tangan menggepal; “Timnas harga mati.”
Dan akhir kata; teman saya tersebut mulai lebih giat untuk mengisi kolom Ballbal.com ketimbang mencari penggemar dari satu golongan. “Lebih afdol memposting pemberitaan-pemberitaan para skuad Tim-Nas ketimbang lurus-lurus aja di Facebook, apalagi mengoreng isu-isu SARO dalam politik. Menulis masih, hanya saja dikurangi pada halaman facebook karna memang dasarnya warga facebook adalah warga yang pintar memilih. Postingan dengan caption bagus, akan banyak yang komen. Status dengan gambar yang menarik, akan membawa pengunjung lebih banyak bereaksi. Memang gaji dari om Mark lebih besar daripada harus mantengin rubrik ballbal dot kom, namun harga diri saya sebagai penulis, akan lebih berharga ketika ada yang mengapresiai lewat persatuan, heheh” Katanya sambil ketawa ketika kutemui di kediamannya, Kosan Tercinta.
#Bismi
Bengkulu,13 Juli 2018