“Bukan lautan juga kolam susu,
pegunungan cukup menghidupimu,
tiada badai tiada topan kau temui,
kopi dan sahang cukup menghidupimu.”
Aku tumbuh dari tanah pertiwi yang subur dan asri. Tanah gembur dengan intensitas kandungan yang tinggi membuatku cepat besar dan hidup sejahtera. Di ketinggian Gunung Bungkuk Bengkulu, 1500 meter dari permukaan laut, bersama keluarga dari berbagai varian aku menemukan hidupku sangat berharga.
Benih-benih kami yang disemai, ditabur dengan cinta, membuat kami memberi lebih kepada mereka.
Panggil aku Robusta.
Badanku yang kokoh dan buah yang tebal menjadi pilihan mereka. Buah putih, kulit tipis dengan postur tubuh melengkung berbentuk ‘S’, jauh digemari orang asing karena kadar kafein dua kali lipat lebih banyak. Rasaku juga jauh lebih nikmat dan gurih katanya.
Setelah mereka menyemai buah-buahku yang matang, mereka menggali tanah-tanah di daratan tinggi. Yang lebih kami sukai adalah tanah pegunungan. Karena kadar tanahnya yang gembur dan banyak memiliki vitamin, tanah pegunungan juga tak perlu menyediakan pupuk kimia saat kami membutuhkannya.
“Jujur, aku tidak suka jika ada manusia yang mengelola kami dengan hal berbau kimia. Juga teknologi.”
Namun, kadangkala mereka tak mau repot. Dengan segala pengelolaan yang serba canggih dan efektif, mereka jauh meninggalkan kebiasaan para nenek moyang yang mengedepankan budaya tradisional.
Mereka menanami hektaran bukit dan lembah, dengan peluh dan keikhlasan. Tampak dari muka mereka yang pucat dan berkerut, memasukan biji semaian kami ke dalam lubang dengan penuh doa dan harap.
Setelah ditanam dengan kasih sayang dan keikhlasan, mereka menambah kesabaran hingga mencapai tiga tahun. Waktu yang tidak sedikit hingga kami harus memaksa diri untuk cepat tumbuh dan berbuah.
“Robusta. Hidup dan tumbuhlah dengan cepat ya, Nak,” kata mereka sayup-sayup seperti berdoa.
Mereka pulang. Meninggalkan kami yang kedinginan melewati masa yang dinanti untuk berkembang.
♥♥
Tiga tahun berlalu. Aku mulai merasakan segar. Kelopak bunga tumbuh di bahu kiri kananku. Ah, manis sekali mereka.
Putik putihku mirip sekali dengan bunga melati. Sehingga orang yang melihatku saat itu akan lebih memilih memetik dan mencium ranumku yang menggoda.
Musim terus berganti. Semenjak mereka menanam dan membiarkanku dewasa, angin gunung sesekali menerpaku. Menandakan selamat datang atas keberhasilanku bertahan hidup di lembah tinggi. Desau sejuknya menjamah dedaunan, memaksa kami menari.
“Tapi, sejak lama manusia tak tampak. Ke mana mereka?” gurauku, bertanya pada Kutilang yang hinggap di dahan.
“Ah. Barangkali mereka lupa.”
“Tidak mungkin. Mereka, ‘kan, sudah lama menantiku tumbuh. Jika kau berkenan, kau bisa terbang dan menemui mereka di desa. Kumohon!”
Kutilang terdiam sesaat. Sejenak ia mengangguk, menandakan setuju untuk membantu kami.
Langit cerah memancarkan pendar yang bersahabat. Kutilang hilang di sela-sela sayap awan putih, dan aku kembali bernyanyi di atas langit Merigi.
♥♥
Sudah hampir lima hari Kutilang tak kunjung datang. Manusia tak satu pun yang terlihat mengunjungi kami. Rerumputan mulai serut, membuat kami kian tak terurus dan mulai berputus asa untuk memamerkan keindahan bunga-bunga.
Sejenak aku memandang jauh, menembus kabut tipis yang berlalu lalang di hadapan. Aku menerawang wajah perkotaan yang jelas tergambar dari sini. Meski samar, pandanganku tak salah. Benar, itu adalah Kota Bengkulu. Kota dengan sebutan Bumi Rafflesia.
Ya, sebulan sekali bunga Rafflesia Arnoldi tumbuh di sekeliling pelataran kami. Dan hampir dua bulan ini, mereka tak kunjung datang melihat kami merekah.
♥♥
Malam dingin mencekam. Angin berembus tak begitu kencang, tetapi sedikit kaku kali ini, ia menusukkan terpaan yang dingin.
“Hujan?” tanya Rabika.
“Bukan. Ini hanya angin,” jawabku ragu.
“Tapi dingin. Tubuhku seperti akan membeku.”
“Ah, wajar. Tubuhmu ‘kan memang kecil. Ditiup angin saja sudah gemetaran,” candaku sembari merasakan satu-persatu persendian ini mengerut.
Benar. Dingin mulai membungkam. Akar dan daunku tak cukup kuat menggerutu, sampai keheningan benar-benar memuncak.
Rabika diam tak bersuara lagi. Begitu pun aku. Kuperhatikan Alpukat, Ubi, dan Jambu juga membisu.
“Bukan. Ini bukan angin. Ini benar-benar hujan.”
Namun, tak seperti biasanya. Tetesan air begitu keras menghantam. Dinginnya jauh melampaui biasanya.
“Es. Hujan es!”
Tidak kami duga jika di ketinggian ini akan turun hujan es. Selama kurun waktu tiga tahun lebih, baru kali ini kami mendapati kesialan. Di tengah suburnya tanaman kami, bunga-bunga yang bermekaran, sepintas akan jadi apa jika demikian.
♥♥
Hangat mentari pagi, perlahan meruntuhkan kebekuanku. Namun, kemudian aku terperanjat. Kuperhatikan semua teman-temanku menangis.
“Kenapa? Ada apa dengan kalian?”
Tidak satu pun dari mereka menjawab pertanyaanku.
Mentari kian meninggi, datang segerombolan para petani yang mengendarai sepeda motor rakitan. Mereka ada sekitar tujuh orang. Di antaranya ada anak-anak yang masih sangat belia dua orang.
Kedatangannya makin mendekati pelataran lahan. Ada saung yang berdiri di tengahnya. Saung itu sepertinya mulai lapuk.
Sepanjang perjalanan menuju kemari, mereka seperti kebingungan. Ya, sudah kuduga. Wajar jika mereka bingung. Dan sebentar lagi, mereka akan menangis atau lebih dari itu.
“Pak, kenapa bunga-bunga kopi kita banyak yang layu? Padahal semalam hujan,” tanya perempuan tua kepada lakinya.
“Entahlah, Bu. Bapak juga bingung. Tapi kuperhatikan, tanah di bawah dahan-dahan ini banyak sekali batu dingin. Seperti ….”
“Es. Ya, ini es,” kataku menyahut.
Keduanya masih juga kebingungan. Anak-anak kedua orang tua itu asik dengan anjingnya. Berlari-lari kecil dan sesekali menyanyikan lagu tembang.
“Bu. Kenapa, ya. Ini memang es. Apa semalam hujan es?”
“Ah, masa, Pak. Kok di desa tidak, ya. Masa iya hujan es di gunung setinggi ini.”
“Huss. Kita tidak pernah tahu apa yang dikehendaki para penjaga gunung. Kita hanya tamu di sini.”
Lelaki tua membuka pintu saung.
“Siapa mereka. Tuan tanah yang dulu menanamku?” Rasa penasaran mengembalikan ingatanku menuju beberapa tahun silam. Wajahnya tidak mirip seperti ketika mereka menyemai dulu. Dan dugaanku, ia adalah anak dari petani tua yang menanam kami.
Apa yang kukatakan barusan, membuat orang tua ini seperti paham dengan perkataanku. Ia mendekatiku. Di tangannya tergenggam sabit yang sangat tajam. Semakin ia dekat, semakin pula aku khawatir dengan apa yang akan ia lakukan.
Bresss … bresss. Besi yang terasah tajam dan mengkilat putih, membuat bulu kudukku merinding. Ditebasnya semak belukar dan mengenaiku.
♥♥