“Surti memunguti sampah yang berserakan di mana-mana. Sembari menggendong bayinya yang berumur dua tahun, ia menjalani rutinitasnya sebagai seorang pemulung demi mencari sesuap nasi”
Oleh Muhammad Bisri Mustofa
Rumah yang tak begitu jauh dari pusat Taman Bangkahulu, terlihat tak beraturan juga memprihatinkan. Dengan ukuran dua kali dua meter, berdinding seng bekas dan berkarat, Surti dan ketiga anaknya yang masih kecil harus rela meratapi nasibnya sebagai seorang miskin. Sudah tiga tahun semenjak kepergiannya dari desa, ia belum juga menemukan kepastiannya sebagai transmigran.
Taman Kota Bangkahulu memang sudah terkenal kumuh. Semenjak ditinggalkan Walikota lama—Wijaya—kota ini kian mendekati waktunya merana. Disayangkan, seorang Walikota yang agamis dan penuh dedikasi pembangunan, akhirnya harus jadi korban pemberontakan bawahannya. Keruntuhan seorang birokrat seperti Wijaya, dirasa tidak lagi menjadi acuan untuk bisa saling percaya kepada para pemimpin kepada bawahannya, juga sebaliknya. Wijaya dituduh melakukan praktek korupsi yang merugikan negara dengan nilai 700 milyar. Digadang-gadang bisa memenangkan proyek PLTU Batu Bara yang saat ini masih juga bersengketa dengan kontraktor Cina, justru malah dirinya yang dijebak karena sudah menandatangani perjanjian alih saham.
Taman Kota Bangkahulu terletak bersebrangan dengan Pantai Laguna. Di pesisir pantai inilah dapat kita lihat betapa corong—cerobong PLTU Batu Bara—dengan pekat asap mengudara, memenuhi sirkulasi lapisan ozon negeri Bencoolen yang beberapa tahun terakhir masih bisa dirasakan keasriannya.
Surti, pemulung sekaligus saksi bisu yang bertahan menjalani hidupnya di pinggiran kota. Melihat anak-anaknya menghirup bebas udara kotor persampahan juga pencemaran udara dari pembangkit listrik non komersial.
*
“Ini yang saya dapat hari ini, Pak,” ujar Surti kepada lelaki plontos yang sedang sibuk menimbang barang bekas.
“Kardus?” Sembari membalikkan badannya, Redi mencoba meyakinkan diri untuk menolak barang tak bernilai itu.
“Stok kardus sudah banyak, Ti. Bukan aku tidak mau nerima. Dari atasanku, dia sudah nyetop untuk nerima kardus,” tegasnya sembari melanjutkan aktivitas.
“Lalu anakku makan apa, Di? Kasian mereka. Kau cukup bayar buat sebungkus nasi supaya mereka bisa makan.”
“Enggak. Enak juga kalo kardus banyak. Ini paling cuma 5 kilo. Dapat apa?!”
“Sepuluh ribu saja, Redi. Kamu tega melihat anak-anakku mati kelaparan?”
Redi tak menghiraukan ratapan Surti. Ia bergegas menaikkan rongsokan yang sudah dikemasnya ke dalam mobil pick up.
“Ini. Aku ada uang lima ribu. Besok kau cari barang lain,” singkatnya seraya menyodorkan selembar lima ribuan, lalu meninggalkan Surti bersama anaknya yang tertidur pulas di atas tumpukan kardus.
*
Surti kebingungan. Uang yang ia pegang tak berarti apa-apa. Lima ribu, di kota sebesar ini hanya bisa membawa pulang kerupuk atau nasi segenggam. Anak-anaknya yang sudah menangis kelaparan, tak bisa dibohongi dengan harapan. Sedang ia harus kembali mencari nasi untuknya serta susu untuk bayinya yang sudah sangat kurus.
Sembari tertatih, ia menuju gubuk reot miliknya. Sepanjang perjalanan tatapannya kosong. Mata sayu Surti semakin menjadi setelah ia menemukan nasi bungkus di atas meja taman.
“Ada yang memakannya tak habis. Kelihatannya juga masih bersih dan bagus,” pikir Surti. Ia pun membawa makanan itu.
Dalam hatinya terbesit untuk memakan nasi itu sendiri. Namun, sesampai di pintu kardusnnya, ia mengurungkan niat.
Dilihat anaknya satu persatu. Sampai akhirnya ia lanjut memutuskan untuk pergi ke perkampungan eks Pulau Baii.
Terlalu jauh baginya. Perkampungan lokalisasi itu tepat di pinggir wilayah Pelabuhan Pelindo I atau tepatnya bersebrangan dengan pembangkit listrik.
Di sana ia bisa menemui teman lamanya—Inggih—untuk mengajaknya bersolek, dan menjajakan tubuh indahnya. Di umur yang tidak terlalu tua—32 tahun—, Surti bisa mematok harga yang cukup untuk menyambung hidupnya beberapa hari. Toh, privasi dan harga diri Surti tidak lagi untuk dipendam atau dibalut kain lusuh peninggalan sang suami yang saat ini sudah tak tahu lagi rimbanya.
Dengan segala sisa paras ayunya, Surti bisa menghilangkan sedikit kerut di wajah dengan bersolek. Juga keahlian yang dimilikinya sebagai seorang mantan penari Ronggeng.
“Aku bisa memamerkannya tanpa harus melepas semua pakaian,” harap Surti, menjejaki aspal Kampung Melayu.
*
“Inggit! Ini aku. Surti”
Lengkingan suara perempuan ini cepat diingat oleh Inggit.
Inggit menghentikan aktivitasnya ber-make up, “Hai. Kukira kau tak akan datang. Sudah beberapa bulan menunggu. Aku berharap kau tidak lupa dengan tawaranku.”
“Bagaimana rupa Ibukota? Sudah cukup sengsara?” tawa Inggit mempersilakan Surti.
“Ini anakmu? Kenapa tidak kau tinggalkan?”
“Tidak ada yang menjaganya, Nggit.”
“Tapi, apa iya kau mau membawa-bawa anakmu begitu. Apa kata mereka nanti?” tutur Inggit sambil melongokkan kepala ke ruang kelap-kelip—sering disebut warung remang-remang, tempat para lelaki hidung belang mengantre pelayanan—yang tak terlalu jauh.
“Tolonglah, Nggit. Aku bisa menidurkannya.”
“Aku sih tidak masalah, tapi bagaimana dengan Mami. Iya kalau di .…”
“Aku yang mengatasinya. Aku akan bekerja sesuai kemampuanku.”
*
Aku melihat anakku tertidur pulas. Dia memang anak yang tidak rewel dan seperti tau beban ibunya. Waktu menunjukkan pukul 16.32 wib. Aku meletakkannya di atas kasur lantai—kamar Inggit.
Segera kurapikan wajah kusam dan mengganti baju tak layakku dengan gaun yang sudah Inggit sediakan. Semua perlengkapan make up, juga parfum tergeletak di depan meja rias. Aku hampir lupa cara bersolek.
Inggit mendekatiku, merapikan rambut yang terurai tak beraturan, mengoles pensil alis, bedak, dan lipstik merah di bibirku yang ranum–kata suamiku di malam pertama kami dulu. Aku sedikit canggung dengan cara Inggit yang duduk di atas pahaku, memangkukan tubuhnya, dan mengubah raut wajahku menjadi jauh lebih muda.
“Supaya tidak tegang.” Tangannya meraba bahu dan menelusuri lekuk tubuhku.
“Nggit,” desisku dengan bibir sedikit bergetar. Kurasakan jari-jemarinya masuk ke dalam selangkangan. Aku menyergah.
“Sudah. Badanmu masih cukup kencang dan kenyal. Selamat menikmati hari pertamamu,” ujar Inggit sembari berlalu meninggalkan pilihan kepadaku.
*
Pengunjung sudah mulai berdatangan. Malam itu udara dingin kian terasa memeluk tubuh Surti. Terbayang di matanya, dua tubuh kecil sedang asik melahap sisa-sisa makanan yang ia peroleh di taman. Surti ingin sekali membelikan rendang juga daging kesukaan sulungnya. Dan berharap malam ini ia akan memperoleh uang lebih dari yang dibayangkannya.
“Hei! Jangan bengong. Temani tamu yang baru masuk, itu,” ucap perempuan tua bermake-up tebal menunjuk seorang lelaki yang sedang asyik dengan minumannya di pojok bar.
Surti memperhatikan perempuan itu adalah yang paling tua di sini. “Ya. Pasti dialah yang mereka sebut Mami,” gumamnya dalam hati.
Ia melangkah menuju tempat lelaki itu. Sedikit terkejut melihat tato di belakang lehernya mirip sekali dengan tato mantan suaminya—tato mawar merah.
“Mas?”
Dengan percaya diri, Surti menyapa lelaki berjas hitam, dan berharap benar atas dugaannya itu. Lelaki itu tidak langsung menoleh. Entah karena suara Surti yang tidak terdengar atau karena ia ingin jual mahal.
Surti pun memegang pundaknya dan benar saja.
“Surti?! Ka-kau .…”
Mata lelaki itu berkaca-kaca seolah memendam amarah sekaligus malu. “Kenapa kau di sini?”
“Kau masih ingat aku? Ha?! Ke mana kau selama ini, Mas?”
“Surti. Maaf, aku ….”
“Sudahlah.”
Plakkk!
Telapak tangan Surti melayang, menghujat pipi lelaki itu. Ingin sekali ia meludah pada muka lelaki brengsek yang pergi tanpa pamit.
“Ke mana kau selama ini, Bajingan?! Di mana tanggung jawabmu?”
“Tunggu. Aku bisa jelaskan. Di mana anak-anak kita?’’
Segala pengunjung mengarahkan pandangannya kepada mereka. Namun, keduanya menatap biasa saja. Entah karena bisingnya suara kafe yang mengubah alibi ini menjadi pertengkaran biasa, atau karena memang tidak akan peduli.
“Apa? Kau mau lihat anak-anakmu yang telantar? Selama dua tahun kau tak acuhkan kami, dan sekarang kau sok peduli?!” Surti menggeleng keras. “Mereka sudah mati,” tandasnya.
Pandangannya mulai memanas. Dilihat wajah lelaki yang dulu ia cintai itu, yang dulu begitu tulus dan peduli. Ada sesak yang tak bisa ia jelaskan. Tiba-tiba, wajah itu jatuh di hadapnya.
“Surti,” rengeknya, membuat wanita muda yang malam itu tampak lebih cantik dari biasannya jijik.
Surti tak acuh. Pandangannya beralih pada lelaki yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki flamboyan yang mungkin usianya tidak terpaut jauh darinya. Surti tersenyum saat lelaki itu menggodanya dengan mengangkat gelas berisi anggur.
“Sudah. Aku ingin menjual tubuhku.”
Surti berlalu, meninggalkan kepingan masa lalu yang membuatnya terikat masalah ekonomi.
Ya, ia berhak bahagia. Anak-anaknya juga berhak bahagia. Meski ia sendiri tahu, cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu salah. Akan tetapi, orang seperti ia yang selalu dipandang sebelum mata dengan orang lain bisa apa selain menjual tubuh? Toh, pada akhirnya ia akan tetap menjadi gunjingan orang-orang. Bedanya, esok atau hari selanjutnya, ia dan anak-anaknya tidak kelaparan.
*
Bengkulu, 01 Mei 2019