Terdengar sayup-sayup suara solawat dan lantunan ayat suci Alquran dari balik jendela kamarnya.
Ada kesejukkan yang diterima oleh anak berumur 7 tahun itu. Matanya sedikit berbinar sambil menggambar sesuatu pada embun yang menempel di kaca. Gambar yang tidak terlampau jelas, namun mengisyaratkan bahwa yang ia gambar adalah lafas Muhammad.
Sandra hanya teringat pesan gurunya di sekolah, bahwa sebetulnya ia tidak bisa hidup seperti saat ini tanpa perjuangan nabi dan rasulnya. Ketika anak itu mendengar sebuah kisah perjuangan para nabi, ia pun penasaran tentang siapa itu Muhammad.
Guru Amir selalu menceritakan tentang Muhammad kecil yang yatim karena ditinggal ayahnya. Kemudian betapa menyedihkannya Muhammad karena tidak lama kemudian harus ditinggalkan ibunya juga ketika ia sama seumuran dengan Sandra. Sampai akhirnya Muhammad harus ikut pamannya yang sangat mencintai layaknya orang tua Muhammad sendiri.
Tak sampai di sana, Guru Amir juga mengisahkan perjuangan Muhammad ketika ia diangkat menjadi nabi dan rasul Allah. Hingga perjuangannya mengangkat martabat umat islam, di mana pada zaman itu selalu ada saja adab keji yang dibawa oleh kaum kafir qurais.
Belum selesai dengan cerita-cerita perjuangan nabi dan rasul, Sandra dan teman-temannya harus dipisahkan dengan Guru Amir oleh jam pelajaran, hingga akhirnya mengharuskan Sandra menunggu sampai minggu depan.
Rasa penasaran masih melekat pada bayangan anak itu. ‘Siapa Muhammad’ selalu ia tanyakan pada mamanya yang sibuk mengurusi pekerjaan. Dari semalaman, mamanya hanya diam dan melanjutkan kesibukkannya bersikukuh membereskam setumpukkan berkas di ruang kerjanya. Tak ayal hal tersebut membuat Sandra sedih dan berharap, pagi ini ada orang yang mengajaknya ke masjid dan bisa membuatnya bertemu dengan guru ngaji yang bisa menceritakan bagaimana kisah selanjutnya sampai pada akhir hayat Muhammad berhasil mengangkat derajat umat islam.
Dengan tiada daya, Sandra hanya bisa menangis di kamarnya sembari melihat betapa deras hujan di luaran.
“Andai enggak hujan, apa mama mau mengajakku kesana,” ujar Sandra dalam hatinya.
Sejurus kemudian ia menangis sehadi-jadinya. Ia teringat ayahnya, seperti yang diceritakan Guru Amir, Muhammad sudah ditinggal ayahnya sejak dalam kandungan, dan diusianya yang berumur 7 tahun, membuat Sandra khawatir ia akan bernasib sama ikut ditinggal mamanya.
Bergegas Sandra bangkit dan menemui mamanya di ruang atas.
Terlihat mama yang ia cintai yang sudah nampak tua, sedang asik menghadap komputer. Tidak ditanya mamanya sedang sibuk apa, karna Sandra sudah tahu pasti mamanya sedang sibuk membuat desain baju dan pakaian yang kemudian ia kirim ke beberapa butik, rekan kerjanya.
Namun pelan-pelan Sandra mendekat.
“Ma. Mama lagi sibuk?” Mamanya tidak menjawab.
“Ma, maafin Sandla, yang sudah bersikelas mengajak mama tadi. Sandla janji gak bakal ngeyel lagi, Ma.”
Melihat anaknya yang sudah mengiba-iba, Mama menghentikan kerjanya sembari menatap tajam mata Sandra.
“Ma. Sandla cuma penasalan, Sandla cuma pengen dengel celita Nabi Muhammad, Ma. Apa benel dia ditinggal mati ayahnya. Juga ibunya waktu dia seumulan Sandla, Ma. Sandla ngga mau ditinggalin mama. Nanti Sandla sama siap, Ma. Sandla ngga mau sendili” Mata Sandra berlinang dan membuat Mamanya seketika mendekap putri kesayangannya.
“Sandra, sayang. Maafin mama, ya.” Sejurus kemudian, mamanya menggendong Sandra. Ia mengajak Sandra untuk berganti pakaian dan berjanji mengajak Sandra ke masjid.
Dipakaikannya baju muslim kepada anaknya. Jilbab yang tidak biasa ia sandangkan di kepala Sandra, kini ia pakaikan dengan tangan dan hati bergetar.
Dilihatnya anak kecil dengan paras ayu ibarat bidadari, sontak membuat hatinya luluh.
Dengan kesejukkan hujan dan paras putrinya, pagi itu juga, Mama Sandra berniat akan mendidik anaknya menjadi seorang putri solehah dan terus meluangkan waktu untuk Sandra.
—
Bengkulu, 20 Nov 18