Estimasi pertambangan sepekan ini jadi perbincangan hangat. Mulai dari pembenaran hipotesa mengenai dampak pertambangan sampai pada justice para pelaku tambang silih berganti jadi headline news koran lokal.
Pasca bencana banjir dan longsor di negeri ini, Yayasan lingkungan hidup intens pada persoalan advokasi dampak pertambangan dan mengaku akan terus mendesak pemerintah mengevaluasi tambang di penjuru pertiwi.
Artinya, semua rahasia manusia yang ada di hulu sana sengaja dibuka lebar-lebar dengan bencana. Supaya tau makna dari perusakan alam dan pembrangusan fakta integritas memiliki makna yang tak semestinya disepelekan. Penebangan pohon, penggalian tambang, dan membuka lokalitas taman hutan raya menjadi produk ekonomi statis yang blablabla, menambah pendapatan daerah dan akhirnya menguras kas itu sendiri.
Masyarakat kecil jadi korban nyata juga pencitraan dari kalangan birokrat dan aktivis sosial yang saat ini mencari-cari sebuah pembenaran, yang nantinya dimuarakan pada hipotesa itu sendiri.
Pelaku tambang terancam. Investor turut ogah meneken perjanjian kerjasama di beberapa daerah yang saat ini membuka lebar peluang investasi.
Tak jauh dari permasalah lingkungan hidup dan kampanye energi terbaharukan–Greenpeace, di Negara Belanda plastik jadi dampak mengerikan yang sekarang ditentang habis-habisan oleh berbagai macam organisasi dunia.
Organisasi pemerhati kelestarian lingkungan Greenpeace baru-baru ini melakukan kampanye memerangi penggunaan plastik sekali pakai dengan cara unik. Meski unik, Greepeace tetap fokus pada pesan yang ingin disampaikan.
Mereka membuat instalasi monster berukuran besar yang terbuat dari sampah-sampah plastik yang ditemukan bertebaran mengotori lingkungan.
Pertengahan bulan lalu, para aktivis dan relawan mendatangi kantor pusat Unilever di Rotterdam, Belanda. Kegiatan ini memiliki maksud mengembalikan sampah-sampah plastik kepada pembuatnya. Para aktivis mendesak agar mengelola bahan plastik tidak hanya sekali pakai melainkan dapat didaur ulang yang ramah lingkungan.
“Mak, kenapa akhir-akhir ini udara terasa sangat panas sekali,” Pandu menghela napas seraya mengibaskan kertas di mukanya.
“Ndak tau, Le. Barangkali memang lagi musim panas.”
“Lho ini kan bulan sepuluh, Mak. Yang ada sudah waktunya musim hujan, toh?” cetus Pandu melihat emaknya sedang asik meniup api.
“Mak, kenapa Emak masih bertahan dengan bahan bakar kayu. Kenapa ngga pake kompor gas saja?”
“Sampai kapan pun Emak ngga mau pake begituan, Pan. Ini saja ndak habis-habis buat masak air sepuluh tahun lagi.” Ungkapan Emak begitu menohok.
Pandu tak segera melanjutkan pertanyaan yang masih banyak menggumpal di keningnya. Ia keluar dari dapur menuju pantai belakang rumahnya.
Pukul 16.30, mentari begitu cepat redup. Langit-langit semesta juga tampak lebih tua. Beberapa tahun lalu, udara segar dan nuansa senja masih begitu estetis. Sampai pada akhirnya lumbung ikan di pesisir muara jadi tempat berdirinya corong-corong asap dan menjadikan senja sedini mungkin pergi.
Bengkulu, 09 Mei 2019