Oleh
Muhammad Bisri Mustofa
Lian, aku ingin membualkan kata-kata manis lagi padamu. Namun bukan melalui puisi yang biasanya ku sajikan pada senja-senja kita. Ingin ku ungkapkan terakhir ketika ku masih disini bersamamu untuk sekedar melepas bimbang ataupun gelisah yang sedang menimpa kita. Antara jarak yang tak berarti sedemikian rupa, lewat kata rindu, dan luka.
Aku percaya, ada yang lebih dari sekedar mencintaimu, Lian. Ya, ada yang lain lebih hebat dariku sang pembual kata-kata. Meski janjiku tak pernah terbatas olehmu, namun pudar oleh jarak yang telah menggerogoti kemesraan kita. Sudah 4 tahun kau pergi jauh dariku. Sudah setengah windu aku hampa terengap-engap memegang janji setia. Namun tak kunjung ada kabar yang indah tentang kita. Aku sendiri terus dirundung kebimbangan, antara lekas melamarmu, atau tetap terfokus menabung untuk masa depan kita. Namun hal tersebut sungguh sangat lama bagimu, pun bagiku yang hampir setiap hari mencari-cari rupiah tanpa mendapat sedikit keyakinan percaya diri untuk menikahi. Tak jarang kau mendesakku untuk tawakal dan berserah diri pada tuhan tentang nasib kita setelah pernikahan. Bukankah Allah Tuhan yang maha pemurah dan akan melipatgandakan rezeki setelah pernikahan, begitu sayup-sayup katamu yang ku ingat terakhir kali.
Lian, namamu selalu terukir dihatiku semenjak aku mengenalmu waktu kita satu grup orientasi kampus. Kala kita masih malu-malu berjabat tangan dan mengenal nama. Aku, yang waktu itu jadi ketua grup dan memberimu mandat sebagai sekretaris, dan kita terjalin dalam waktu yang singkat saling menyapa. Kau ingat, Lian? Ya, aku selalu ingat kata-kata pertamamu memanggilku dengan sebutan ‘Kak’. Kita memang seumuran waktu itu sepihak masa studi, dalam ruang yang sangat senjang aku memang lebih tua darimu yang tengah berumur 19 tahun dan umurku menginjak usia 23 tahun. Namun tetap kusenyum padamu tanpa rasa ragu ataupun minder, entah karna kepolosan ku sebagai orang desa atau memang sikapmu yang membuatku jadi seorang lelaki sejati.
Lian, coba kau ingat lagi sewaktu kita telat bersama datang kekampus dan tidak diizinkan untuk mengikuti perkuliahan. Kita yang tidak mengerjakan tugas kuliah lantaran acap kali bernostalgia dengan waktu, kencan, jalan-jalan, shoping, nonton film, dan hunting. Kita yang berdua cari ruang bersua didalam perpustakaan dengan alih-alih baca buku dan mencari leteratur semacamnya, padahal kala itu kita hanya sempat untuk berujar lembut pada hati masing-masing dan menghabiskan waktu bersama pun seiya sekata. Ingatkah?
Ya, kurasa semua cerita yang tak perlu lagi ku ulas dan hanya akan mengulang luka baru itu, kau ingat sedemikian rupa. Meski sudah berjalan cukup lama untuk ukuran waktu aku takkan melupakannya. Dan, tepat setibanya tanggal jadian kita, tiba-tiba kau datang membawakan parcel padaku. Aku tak tau apa isinya. Ingin ku buka sesegera mungkin namun kau berkilah berkata, “Buka dirumah saja, Kak” katanya masih tetap lembut membuat layu hati menggerutu. Hal ini semakin membuatku penasaran. Setelah lama kau pergi dari kota sarjana mu dan pulang ke Bogor 4 tahun lalu, membuat hatiku berdegup sedikit tak percaya ketika kemarin kau menghubungiku untuk segera bertemu.
“Kak Iyan, bisa kita ketemu dikafe tempat biasa?” pesanmu kepadaku melalui watshapp.
“Kak Iyan, bisa kita ketemu dikafe tempat biasa?” pesanmu kepadaku melalui watshapp.
Aku sedikit penasaran. Setelah sekian lama kau pergi dariku dan kini kau kembali untuk segera bertemu.
“Ada apa gerangan Lian kemari. padahal aku sudah menangguhkan perasaanku padamu, wahai Lian.”
Aku tlah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak lagi berkata indah tentang cinta. Meski terakhir kita berkomunikasi via vc, kau menyuruhku segera menikahimu dalam waktu dekat. Namun, tiada dayaku menjawab keputusan itu lantaran aku yang masih belum jelas dengan pekerjaanku.
Dan akhirnya kau tak sesering dulu menghubungiku. Apakah perasaan lelah atau kecewa padamu sehingga tiba pada waktu yang dinanti, kini. Kau kembali menemuiku dengan tanpa rasa rindu.
. . .
Sikapmu kaku saat menemuiku. Tanpa berbincang lama dengan suasana sedikit mencekam bagiku, ini pertanda buruk. Awan yang tadinya putih bersih, lama kelamaan pudar berpadu menjadi kelam seiring simpang siur perasaanku. Dalam hatiku terasa was-was, untuk tidak melangkah kemanapun dan pergi dari tempat dudukku di kafe ataupun menggeledah seisi parcel.
Ku lihat setelah kata terakhir yang kau ucapkan, “Jangan lupa datang, ya, Kak..”, lantas kau beranjak pergi tanpa sedikit permisi kepadaku. Tak kunjung ku lihat pergimu dibalik kilas pintu kafe, Aku hanya terpaku pada bingkisan parcel yang kau berikan. Dan Akupun ingkar untuk tidak membukanya disini.
“Undangan Pernikahan“
Putra dan Putri kami
Arif Nasution bin Rahman
dengan
Liana binti Hasan Nur
Pada tanggal
20 Desember 2017
Jln. Moh Hatta no 23,Jakarta
Kepada; Kak Iyan tersayang
Seketika langit yang sedari tadi kelam pekat, dengan senang basah hujan menghujam langkah ku. Daun berguguran sepanjang jalan ku pergi menemui senja tempat lama kita mengadu rasa di Teluk Segara. Namun ku tahu, senja takkan datang sore ini, atau sore-sore selanjutnya. Bahkan yang ku namakan senja, suatu saat nanti senyap lenyap seiring keputusanmu memilihnya.