Begitulah hebatnya akal dan fikiranku membusuk ketika terus saja mengingat kata-kata “Hidup”. Perasaanku berkata, bahwa kita hidup semuanya dihadapkan kepada sebuah pilihan. Bukan tuntutan. Karena ketika kita sudah mengakar pada kata pilihan yang terpilih, maka hasilnya tuntutan kehidupanlah yang kembali mengikuti kita.
Sudah hampir sepekan aku merasakan tekanan-tekanan hebat di alam bawah sadarku. Tidak bisa tidur. Tidak enak makan. Tidak konsentrif dalam menjalan keseharian. Juga tidak bisa mempedulikanmu seperti biasanya.
Kata-katamu yang selalu berkecamuk dalam khayalku, dan jelas itu membunuh karakter kejiwaanku.
“Apa kita bisa hidup jika hanya berhadapan sama perkara tulisan. Apa kita bisa makan kalo kerjamu cuma menulis. Apa anak-anak bisa sekolah kalo kamu ndak punya pekerjaan tetap yang berpenghasilan Wah. Apa kamu waras sudah menempatkanku pada kesusahan orang-orang seperti kamu. Apa kamu dengar kata-kataku?!” entah mengapa takdirku berkata begini. Ya, semata-mata sudah menjadi pilihan buatku untuk tetap hidup tertekan dalam kondisi keuangan.
Menulis, tidaklah mencukupi kebutuhanku.
…
Semenjak aku memutuskan untuk tetap diam dalam beberapa hari terakhir, kau mulai ikut kehilangan arah, bingung sendiri bagaimana untuk memikirkan keuangan; makan hari ini.
Mau menuliskan tagihan listrik dan bahan makan lainnya pun kau sudah tak berani memberiku sanksi. Sudah tiga hari kulihat makanmu pun hanya dengan nasi putih dan krupuk. Ya, itulah toleransinya mengekang kehendak suami. Menolak ku bekerja sebagai penulis.
Toh kamu,sudah tahu latarbelakang ku demikian. Tidak memiliki kekuatan tenaga untuk kerja keras dan serabutan, tidak cukup memiliki mental berpolitik, tidak diwenangi wawasan beragama, tidak bisa berhitung dan memperhitungkan uang, dan lain semacamnya. Aku hanya bisa nulis, nulis, dan nulis. Itu saja.
Lantas kenapa masih kau terima dulu, waktu aku melamarmu dengan sebuah paket buku berisi tujuh belas eksemplar, dengan pendekatan-pendekatan yang katamu tak masuk akal, membuatmu jatuh cinta hanya dengan kata-kata bualan berupa puisi-puisi dan semacamnya. Jadi, siapa yang sepatutnya kau salahkan? Proses mencintaiku atau kebutuhanmu?
Kurasa uang satu juta dalam sepekan, itu sudah cukup mewah untuk membeli bahan makan kita. Toh, orakku juga ngga bodo-bodo amat meski tidak dipancing dengan makanan sehat dan bergizi. Cukup tempe, sayur-mayur, dan air putih. Begitu saja tiap hari. Uang bedakmu, aku sendirikan bukan?
Ayolah Lasmi. Berfikirlah dengan bijak. Tuhan menempatkan kita pada pilihan bukan semata-mata kita sanggup hidup demikian, namun karena Tuhan percaya, kita bisa mengemban amanah sebagai mahluk yang bersyukur. Selain mendapat nominal, toh akupun mendapat kesehatan jasmani dari doa para pembaca yang telah merasa terhibur dengan karya-karyaku. Sudah tidak bisa kau hitung, berapa opini yang kuberikan kepada politik dan ekonomi, minimal dalam keluarga kita, yang selalu kutafsirkan dalam buku-buku persepktif dan, banyak orang yang setuju.
Jadi bagaimana, apakah kau akan tetap menolak pilihanku, atau kau mau bersikeras dalam kediamanmu kufur atas nikmat Tuhan?
Silahkan. Aku masih punya banyak waktu untuk gila dan berdiam diri dari penolakkanmu itu.
. . .
“Ah! Sayang sekali. Ini kesempatan emas. Tapi, ah! Sial, sial!!” aku marah-marah sambil jatuh merebahkan kelelahanku.
“Kenapa, mas? Baru pulang kok sudah marah-marah ngga jelas.” Lasmi menanggapi dengan membuka suaranya setelah sudah beberapa hari tidak berani menyapaku.
“Ini semua gara-gara kamu! Ya, gara-gara kamu tidak mengijinkanku menulis, akhirnya aku tidak bisa mengikuti ajang lomba kepenulisan novel tingkat internasional. Sial! Harusnya aku bisa mendapatkan setidaknya juara dua atau utama.”
“Dari mana kamu yakin, mas. Kan, kamu belum tau siapa-siapa saja lawan kamu dikancah internasional. Memang, sih, kamu hebat dan diakui untuk domisili nasional. Tapi internasional, bisa saja kamu bertantangan dengan J. K. Rowling”
Ada nada mengejek di situ. Aku segera menjauh. Aku tidak mau melampiaskan kemarahanku pada Lasmi. Sudah cukup aku marah dengan berdiam diri berhari-hari. Dan kali ini, aku tidak mau melampiaskan kekerasan fisik padanya hanya karena kesalahanku tidak ikhtiar melanjutkan tulisanku yang hanya tinggal beberapa halaman lagi, menyusul pemberontakkan istriku yang mulai tak tau diri.
Aku segera melampiaskannya dengan menghabiskan beberapa bungkus rokok dalam sekali duduk. Memang. Kali ini aku sedikit tak bisa mengendalikan emosiku. Bagaimana tidak, penghargaan tingkat internasional yang belum pernah aku ikuti, dan kali ini aku sudah mengajukan berkas diri untuk bisa lolos seleksi, mendapati kendala dari istriku sendiri.
Aku hanya yakin saja jika novelku ini bisa memperoleh nominasi penulis terbaik abad ini. Karena memang sebelum-sebelumnya aku sudah melewati itu. Penghargaan-penghargaan dari berbagai media, intansi, maupun even nasional, sudah aku ikuti dan hasilnya maksimal. Ah, sial!
. . .
“Mas, sudah hampir seminggu kamu ngga makan di rumah. Apa kamu masih marah sama aku, masalah-masalah kemarin tentang menulis dan lomba itu?”
“Baiklah, mas. Jika memang itu keinginanmu untuk tetap menjadi seorang penulis, aku tidak akan lagi bersikeras menghalangi kamu. Seberapapun Tuhan menempatkan rezeki bagi seorang penulis sepertimu, aku ikhlas, bersyukur, dan ngga akan lagi mengurung kompetensimu. Kapanpun, mas. Aku janji.”
Kulihat kau sedang ngoceh sendiri. Namun pendengaranku sudah tidak sampai kesana. Kian hari kondisiku kian terpuruk.
Mentalku, rasa sabar itu sudah kubangun bertahun-tahun, dan kau mengajarkanku untuk mengurung pilihanku sendiri. Mataku sayu, dengan wajah pucat pasi, segera aku memutuskan untuk pergi dari rumah.
“Mau kemana, mas?!”
“Menemui orang tuamu.”
——-
Bengkulu, 25 Juli 2018