Oleh Muhammad Bisri Mustofa
Di luaran sana, hujan tengah berderai dan hawa dingin menyeringai kesepian orang-orang tangguh. Aku sudah biasa menyekapnya dalam sendiri, seperti halnya musim-musim yang berlalu tanpa kamu di sisiku.
Indah, wanita yang menggugah jalan fikirku menjadi lebih dewasa dan mandiri. Setiap waktu ia selalu membenahi hari-hariku yang mulai kacau pasca jatuh bangun dari usaha dan hubungan perasaan yang selama ini ku tata. Suatu hari kami bertemu ketika hujan di Taman Remaja, begitu sendu. Berteduh di bawah pondok harap tak kebasahan dari lasian hujan. Kami saling menyapa dan menawarkan rasa bersua dengan bijaksana. Begitu banyak basa-basi. Begitu banyak kutanya tentang seluk-beluk kehidupan dan latar belakang masalah yang ia hadapi. Dan ternyata masalahnya sebagai seorang perempuan jauh lebih menyakitkan dibanding masalahku saat ini. Ia menceritakan masalahnya dengan begitu mengalir beriringan bersama derasnya hujan.
Pasalnya, ia sedang mengalami patah hati mendalam setelah gagal melaju ke pelaminan. Mantan kekasihnya, rela kalap mata, beralih jatuh hati dengan teman seperjuangannya, hanya dengan satu alasan yang sia-sia. Rena gadis tajir dan mapan serta rupawan mengambil alih batas kesetian Indah, setelah bertahun-tahun mempertahankan hubungannya dengan Roy, sang mantan. Indah sama sekali tak menaruh curiga saat itu, ketika ia mengajak Roy untuk mengantarkan undangan pernikahan ke Lena. Tepat sehari sebelum pernikahan, Roy lebih dulu membatalkan semua undangan yang telah disebar tanpa sepengetahuan Indah dan orang tua. Sontak orang tua Indah pun terkejut dan merasa sakit hati dengan sikap yang tak didasar kesalahan fatal, justru menghadirkan caci maki dan sumpah serapah teramat hebat. Hingga akhirnya membuat Indah tak kuat hati menghadapi, dan memutuskan untuk kabur dari rumah.
Tak luput dari pembicaraan, akupun menceritakan kembali kisah yang kulalui. Usahaku mengalami kegagalan lantaran terkena badai moneter dari pemerintahan yang tak pandai menghitung keuangan negara. Secara spontan masa ini adalah masa tersulit bagi kami para pengusaha yang tengah berkembang dimasa 90an. Tak satupun tersisa dari kasus moneter masa orde baru. Segala macam usaha hampir total terkena blokir investasi berkesinambungan dari pemerintah dengan pihak persero. Selanjutnya adalah kisah kegagalan ketika hendak meminang Rahma, kekasih yang kukenal hampir 4 tahun lebih sejalan seiringan bersamaku. Rahma memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya denganku ditahun 1999 menyusul latarbelakang usahaku yang bangkrut.
Setelah hampir setengah jam kami berlindung menatap hujan, diakhir pembicaraan aku mulai menaruh perhatian padanya. Kutawarkan jasa untuk mengantarnya pulang ke rumah dan dia bersedia.
Kebetulan jalan pulang kami searah menuju Ratu Samban, Penurunan. Segera ku hidupkan engkol motor vespa jadul, harta tersisa dari perjuanganku. Dan kami melaju santai sambil menyinggung tanya. Di tengah perjalanan, kami mampir sebentar di kedai kopi untuk sekedar menghangatkan diri dari cekam dingin bulan mei.
Sudah pukul 6 sore, akupun memutuskan mengantar Indah pulang ke Kontrakkan. Dan sesampainya di tempat, kulihat ternyata ia benar-benar sendiri di sini. Tanpa sadar aku menyinggung spontan mengenai pertanyaan yang belum usai tadi.
“In, kamu tidak ada rencana mau pulang ke rumah lagi setelah 7 tahun kabur?” cetusku.
“Maaf, kak. Aku sudah nggak punya rumah lagi. Di sini, walau 6 tahun berlalu aku sudah menganggapnya sebagai rumah yang nyaman. Aku bebas berpandangan dengan orang di sekelilingku. Aku bebas berkarya. Bebas menggapai apa yang aku inginkan. Tidak seperti di rumah. Setelah masalah itu, semuanya berubah jadi haluan, begitu membelenggu caraku berfikir,”
“Indah tidak rindu dengan ayah ibu?”
“Sudah, kak. Ganti topik. Kakak mau masuk, aku buatkan air hangat untuk mandi. Atau mau langsung pulang ke rumah?”
“Ah, iya. Kakak sedang ada kegiatan malam ini. Mungkin lain kali kakak akan mampir.”
Aku segera melaju pulang ke rumah.
. . . .
Seminggu setelah perkenalan itu, aku merasa sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hampir setiap hari aku mengantar Indah menuju tempat kerjanya di Bimbel Stan Infinity, jalan Pangeran Duayu. Tak jarang juga dia memasakkan makanan untukku, sekedar menghemat uang sarapan di kantor katanya. Tempat kerja kami memang searah. Aku sendiri baru mendapat panggilan tugas untuk mengisi tempat kepala redaktur disebuah media surat kabar Bengkulu.
Setelah sekian lama komunikasi kami berlangsung, aku merasa sangat nyaman dengannya. Dia begitu peduli, perhatian, dan bahkan terbuka denganku. Pernah aku menanyakan dengan sedikit canggung, apakah ia merasakan hal yang sama denganku? Iapun mengangguk. Namun sampai saat ini aku belum berniat untuk menjalani hubungan yang lebih serius dengannya. Baru 1 minggu. Ya, 1 minggu adalah waktu yang sangat singkat untuk saling mengikat rasa dan kepercayaan, fikirku dalam hati.
. . .
Sudah 2 hari Indah tak ada kabar. Ke tempat kerjanya pun dia tidak ada. Ada perasaan penasaran dan rindu yang membuncah akalku. Kemana dia? Ada apa gerangan sampai ia tak mengabariku sedikitpun. Bukankah biasanya selalu memberi kabar ataupun tanya. Nomor telponnya juga tidak aktif. Dia juga tidak ada di kontrakkannya. Harus aku cari kemana lagi. Kontak telpon temannya satupun tidak kupunya.
Aku berfikir untuk menemuinya sekali lagi di rumah. Ah! Tetap tidak ada. Aku seakan putus asa mencari rencana kemana lagi akan pergi. Akhirnya kuputuskan untuk menunggunya di teras rumah.
. . .
Hari sudah pukul 7 malam dan tetap tak ada tanda-tanda ia akan pulang. Rerintikkan hujan seketika turun dengan derasnya. Aku segera menepi menuju teras belakang yang lebih tertutup dari dingin angin hujan.
Beberapa saat kemudian kulihat ada seseorang yang membuka gerbang kontrakkan dengan postur perawakkan sebaya denganku. Tak memakai jas hujan, hanya berpayungkan jaket merah samar-samar untuk melindunginya dari basah. Aku segera menghampirinya.
“Indah. Dari mana saja kamu. Sudah dua hari tak berkabar dan kini kau pulang malam-malam kehujanan begini!”
Dia menatap terkejut melihatku. Gestur tubuhnya tampak gemetar kedinginan. Ia sibuk mencari-cari kunci di dalam sakunya. Tidak kulihat ia membawa tas seperti biasanya. Tak menjawab pertanyaanku tadi ia segera menarikku masuk ke dalam ruangan setelah menemukan kunci di saku kirinya.
“Indah. Kenapa diam saja?” kuulangi pertanyaan dengan sedikit cetus. Kali ini aku menatapnya dengan muka lugu dan sayu.
“Ah, nanti saja” hatiku mengalihkan pertanyaan penasaran untuk segera memperdulikannya. Segera aku menuju dapur untuk memasak air hangat untuknya.
Setelah selesai kubuatkan teh hangat dan ia selesai berganti pakaian, aku mengarahkan pembicaraan kearah pertanyaan yang belum juga ia jawab. Sedari tadi tak sepatah katapun ia katakan. Tak biasanya. Aku jadi makin curiga dengan mimik mukanya yang ketakutan.
“Indah. Kamu kenapa? Kamu terlihat sedang ketakutan? Kamu dari mana saja dua hari ini. Nomor hpmu tidak aktif. Di tempat kerja pun kamu tidak ada kabar ataupun izin,” kutatap matanya lebih dalam hingga ia luruh menundukkan pandangannya yang tak terarah. Tak satu patah katapun keluar dari bibir mungilnya. Aku menawarkan segelas teh yang kubuat tadi, dan dia meminumnya dengan gerakkan tengah dahaga. Lantas ia memelukku dengan spontan.
“Kak. Maafin Indah. Indah tidak ada niat membuat Kakak cemas. Indah takut, kak” air matanya kurasakan menetes di bahuku.
“Kau menangis? Hei. Apa yang terjadi padamu?” ibaku sambil mengusap air matanya.
“Kak. Sekali lagi maafin Indah, ya.”
“Kemarin, hari rabu Indah mendapat kabar bahwa Bapak sedang sakit keras. Ibu mendapatkan nomor Indah dari teman Facebook Indah. Dan beliau menyuruh Indah untuk segera pulang menemuinya. Hari kamis Indah pun pergi bergegas memesan tiket pesawat. Dan sorenya Indah berencana akan berangkat ke Palembang. Tetapi niatan Indah untuk pulang pupus. Katanya terisak-isak.
“Indah kerampokan, kak. Barang bawaan dan uang Indah semuanya habis dirampok tak tersisa satupun, juga hp Indah. Ngga tau lagi, kak, Indah harus bagaimana. Perampok-perampok itu tega mengambil semuanya yang Indah miliki. Indah ngga bisa melawan sedikitpun karena mereka bertiga. Indah ngga terbayang malam itu rasanya ingin mati saja. Apa yang mereka lakukan Indah sudah tidak ingat lagi. Mereka membawa Indah ke gedung kosong dan di situ Indah di cekoki minum-minuman keras. Indah tidak sadarkan diri entah berapa lama, hingga akhirnya Indah tersadar, semuanya sudah tidak ada lagi gunanya. Mereka tega melakukannya pada Indah. Sampai pada harga diri Indah, mereka merenggutnya, kak. Satu hari Indah disekap dibekas bangunan kosong, di Depati Payung Negara,” isak tangisnya makin menggebu-gebu.
. . .
Aku terkejut mendengarnya. Spontan rasa ibaku tadi jadi kecewa teramat dalam. Tak sepatah kata ingin kuungkapkan lagi kali ini. Rasanya pun aku ingin segera menarik pertanyaan yang kulontarkan padanya dari awal. Rasa tak ingin tahu apa yang terjadi, telah ia utarakan dengan sesal dan harapan kosong.
Kurebahkan tubuhku di sofa. Lima belas menit berlangsung keheningan. Ku pergoki ia memandangku dengan begitu dalam. Sampai timbul rasa empati untuk mengembalikan kepercayaannya padaku. Aku lalu mendekap tangannya. Ku elus lembut pada batang keniscayaan, memberi harapan dengannya. Ini bukan semata-mata salahnya. Ini sebuah kecelakaan. Dan tak mungkin aku menyudutkan harga dirinya di mataku.
“Indah. Apapun yang terjadi padamu, aku punya hak untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Aku melihatmu dengan sisi kepercayaan yang kau beri pertama kali saat bertemu padaku. Apalagi kau di sini tanpa siapa-siapa. Dan sudah hampir satu bulan aku menaruh perhatian padamu, membuatku takut kehilangan. Membuat aku takut mengulang kekecewaan yang pernah kuhadapi. Aku tak mau ada satupun diantara kita tersakiti. Toh, semua yang terjadi padamu adalah jalan Tuhan, bukan kehendak yang kau harapkan….”
Bengkulu, 31 Mei 2018
. . . Bersambung . . .