Aku pernah kehilangan seorang teman, sahabat, bahkan sudah ku anggap sebagai saudara. Ya, semuanya adalah sebuah keputusan yang sukar diterima oleh siapapun. Namun sebaik-baiknya sahabat, adalah dia yang rela meninggalkan kita saat kehadirannya tidak membawa manfaat, satupun.
Begitulah kisahku yang selalu mengingat bahwa hidup itu perlu ketukan, intonasi, juga refleksi. Bagaimana tidak, sudah hampir 4 tahun kami bersahabat; suka duka, susah senang, jatuh bangun kehidupan selalu kami jalani berdua.
Tak ada kata ‘bohong’ waktu itu. Tak ada kalimat menyakitkan dari setiap candaan. Tidak ada ragu berkeluh kesah. Apalagi berkhianat. Ah, tidak. Kata terakhir yang selalu kuingat darimu adalah; “apapun masalahmu, masalahku, kita hadapi bersama. Jalani tanpa gentar. Aku janji, jatuh bangun seperti apapun kamu, aku siap di sampingmu. Masalah-masalah keuangan, asmara, hobi, dan studi yang harus kita jalani, jangan pernah satu sama lain mendahului dan didahului, menutupi dan ditutup-tutupi. Orang tuamu, orang tuaku. Uangmu, uangku. Pun sebaliknya.”
“Namun tidak dengan kekasih, kan?” Candaku 5 bulan berlalu.
Kamipun tertawa terbahak-bahak sambil menyeruput kopi di teras rumah.
Aku selalu ingat tentang bagaimana kita senang. Meski agendanya hanya streaming; main wifi, nonton film, jalan-jalan, bolos kuliah, main game dan pergi memancing, namun hal tersebut ternyata justru menampilkan sebuah kelainan. Keluar batas tujuan bahwa kita merantau adalah membawa amanah.
Aku baru sadar bahwa yang kita lakukan dengan berleha-leha, telah membunuh empat tahun sekarang. Bagaimana denganmu ketika selalu kutanyakan, “Apa tujuanmu selanjutnya setelah kita selesai studi? Bekerjakah, menikahkah, atau kembali ke desa membantu otangtuamu dan berkontribusi menata perkembangan desa?”,
Sudah sangat jelas tatapmu hanya bayang semu. Matamu memandang kosong seperti ada beban samar yang aku sendiri tak pernah sampai menerjemahkannya.
“Apa ada yang kau sembunyikan, Rob?” Peryanyaanku selalu membuatmu cemas memaparkannya.
“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak saling menutupi keberadaanmu; masalahmu, masalahku. Kau ingat, kan?”
Dan sampai sekarang kau tetap tak mau membagi keberatanmu menghadapi kesah; berdua.
. . .
“Studi kita sudah memasuki umur 5 tahun, Rob. Apakah kau akan terus begini, mengajakku santai menghadapi problema kehidupan, sedang kau sendiri tak pernah tau beban apa yang sedang orang tuaku pikirkan?” Pertanyaan yang selalu aku selipkan disela kami asik ngopi.
Diapun terdiam.
“Ku bisa antarkan aku ke gramed, San? Aku mau beli buku novel terbaru dari episode lanjutan Harry Potter.” Jawaban pengalihan selalu saja kau tepiskan ketika aku mulai bertanya serius tentang masa depan kita.
“Lalu, mau sampai kapan kau tetap berada di zona nyamanmu, Rob. Ini sudah memasuki semester sepuluh, dan kau masih tetap santai. SK judulku sudah diterbitkan. Dan untuk sebulan kedepan aku masih bisa menunggumu. Jangan saja kita tetap jalan di tempat lantas menganggap sepele tugas akhir kuliah ini. Aku hanya kasihan pada orang tuaku. Beliau sudah sangat lama menunggu anaknya mengangkat toga. Akupun berat jika harus meninggalkanmu, lantas wisuda sendirian. Ayolah Roby. Mengertilah. Kita ini sudah dewasa.”
Saat itu matamu hanya sedikit memerah. Lalu keluar sejenak dan menatap ambisi di seberang senja, sabtu sore.
“Bagaimana, Rob?” Tanyaku menginginkan sebuah kepastian.
“Baiklah. Besok kita ke kampus. Antarkan aku mengajukan berkas permohonan SK Skripsi.”
Akupun berbinar ketika melihatmu terbangun atas apa yang aku keluahkan.
Senja sore itu cerah. Tak ada satu awanpun menutupi jaring semesta. Seiring suara adzan, tabir palsu ternyata baru dimulai.
. . .
“Bagaimana. Sudah diterima?”
“Ditolak, San. Alasan yang signifikan membuat permohonanku ditolak mentah-mentah. Aku harus mengulang satu semester lagi untuk menutupi sks yang kurang.”
Gejolak amarah mulai menyelimuti fikiranku. Bagaimana mungkin kiranya. Semua matakuliah sudah dia ikuti. Aku tahu betul rincian nilai semesternya. Kurasa dia sudah melampaui batas sks yang sudah ditentukan. Aku harus membicarakannya dengan petinggi program studi.
. . .
Tak ada jalan keluar rasanya. Setelah lebih satu bulan aku menunggu untuk bergerak dan memulai menyusun skripsi, Roby mulai menjauhiku. Mulai ada jarak darinpertemuan kami. Obrolan-obrolan yang biasanya hangat dan penuh canda tawa, kian lanjut kian senyap.
Dua minggu selanjutnya aku mulai jarang bertandang kerumahnya. Diapun sudah tidak pernah lagi mampir dan mengajakku main wifi di taman. Tradisi ngopi barengpun sudah tidak lagi kami lakukan.
Kali ini dia sibuk dengan urusannya. Setelah kuhubungi untuk menanyakan bagaimana keadaannya, dia selalu saja mengalihkan panggilan teleponku. Sudah beberapa kali juga aku datang kerumah untuk memastikan dia baik-baik saja. Dan dia tetap ingin mengurung diri tak mau bertemu.
Seperti ada kesalahan yang telah ku perbuat padanya. Tapi apakah real, jika aku ingin maju bersama mencapai tujuan, sedang kau selalu putus asa? Berdosakah manabila aku lebih mengutamakan orang tua ku saat ini dan sedikit tidak memperdulikanmu.
Kau sendiri yang masih ingin tetap santai.
. . .
Tugas akhir ini kujalani dengan sangat berat prosesnya. Bagaimana tidak. Disaat seperti ini aku banyak kehilangan dorongan dan motivasi.
Roby meninggalkanku memilih jalan hidupnya. Sebagai tempat berkeluh kesah dan sandaran, ia lebih baik meninggalkanku baik, ketimbang harus sama-sama menjadi lebih baik.
Keputusannya kurasa sudah tepat. Ia tak menginginkan ku berlarut-larut dalam kalut. Apalagi selama bersahabat padanya, ia sangat anti jika aku mulai mengajaknya belajar ilmu agama. Sudah kumaklumi dan tak pernah kupaksa. Bagaimanapun aku tetap lebih memilih untuk berdiam diri soal itu, aku tak pernah mau membuatnya tersinggung soal keyakinan.
Dilain sisi, aku pun mulai kehilangan seorang yang kusayang. Kejenuhannya mengahadipi ku tanpa mendasar mulai menyadarkanku. Dia lebih memilih untuk tinggal sendiri dan mencari yang lebih siap dari pada aku. Mencari yang lebih bersikap dewasa, lebih mandiri, dan punya komitmen kuat terhadap masa depannya. Terakhir kutemui, dia terus membuliku untuk berusaha sendiri memecahkan keadaan. Padahal waktu itu aku butuh seseorang saja untuk menemaniku. Namun dia tetap memilih untuk tetap pergi.
Seiring waktu, ada beberapa makna yang kudapat dari kedua orang yang pernah kusayang, meninggalkanku.
Pertama, aku harus benar-benar sadar, tak ada yang namanya sahabat sejati tanpa di dasari ilmu agama. Teringat dengan dalil tentang sahabat,
“Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-geriknya teringat mati. Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap temannya…” Dan ternyata benar. Tidak ada manfaat yang selama ini kuambil darinya. 4 tahun berlalu dan hanya begini-begini saja.
Kedua, bagaimanapun cintanya kita terhadap seseorang, jika benar adanya dia mencintai kita karna Allah, dia takkan pernah melerakan harga dirinya sebelum akad itu terlaksana. Menjaga kesuciannya walau kita benar bukan orang suci. Dan sebenar-benarnya cinta adalah yang menangguhkan segala pandangan tentang non muhrim. Di bagian ini aku sedikit sesak.
“Bagaimana mungkin diri yang lemah ini, terlalu lama sadar oleh bias-nya cinta. Apakah aku terlalu lama memahami cinta yang Tuhan berikan? Tuhan yang maha cinta saja, hanya minta sebutuhnya. Tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangi.
Terakhir, kesakitan yang paling terasa diantara lainnya; adalah yang terlampau berharap kepada manusia.
Mulai saat ini; kututup-tutupi semua keberadaanku tentang masa lalu. Bagaimanapun aku saat ini adalah aku yang masih belajar memantaskan diri untuk Allah.*
Bengkulu, 20 Juni 18